rashemamelson.org – PT Sri Rejeki Isman Tbk, dikenal luas sebagai Sritex, tengah berada di pusat perbincangan terkait isu kebangkrutan yang beredar. Informasi ini muncul setelah Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) melaporkan bahwa sekitar 13.800 pekerja tekstil di Jawa Tengah, dengan jumlah signifikan dari Sritex, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak Januari 2024 hingga awal Juni 2024.
Keterangan Resmi dari KSPN
Presiden KSPN, Ristadi, menyatakan bahwa fenomena PHK yang terjadi di Jawa Tengah, khususnya di lingkungan Sritex, bersifat masif, yang menimbulkan spekulasi mengenai stabilitas keuangan perusahaan.
Respons dari Sritex
Dalam menghadapi isu yang beredar, Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam, membantah klaim mengenai kebangkrutan perusahaan. Beliau menjelaskan bahwa penurunan pendapatan yang dramatis merupakan dampak dari pandemi COVID-19 dan persaingan global yang intens di sektor tekstil. Ditambah lagi, Welly mengungkapkan bahwa situasi geopolitik, termasuk konflik Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina, telah menyebabkan gangguan pada rantai pasok dan penurunan ekspor, dikarenakan perubahan prioritas konsumen di Eropa dan Amerika Serikat.
Isu Over Supply dari China
Sritex juga merasakan tekanan tambahan akibat over supply tekstil dari China, yang memicu praktik dumping harga. Hal ini menyebabkan penyebaran produk tekstil berharga murah ke berbagai negara dengan regulasi impor yang lebih permisif, termasuk Indonesia.
Sejarah dan Struktur Kepemilikan
Didirikan oleh H.M Lukminto pada tahun 1966 sebagai perusahaan perdagangan tradisional di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah, Sritex kemudian berkembang pesat dan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2013 dengan kode saham SRIL. Mayoritas saham SRIL, sebesar 59,3%, dipegang oleh PT Huddleston Indonesia, yang merupakan holding Sritex dan milik keluarga Lukminto. Sementara itu, 39,89% saham dimiliki oleh publik, 0,53% oleh Iwan Setiawan, Komisaris Utama, dan 0,52% oleh Iwan Kurniawan Lukminto, Direktur Utama perusahaan.
Kondisi Keuangan Perusahaan
Informasi yang diumumkan oleh BEI pada November 2023 menyebutkan bahwa saham SRIL telah mengalami suspensi sejak 18 Mei 2021 akibat penundaan pembayaran pokok dan bunga dari medium term note (MTN). Suspensi ini berlangsung hingga 18 Mei 2023, selama total 24 bulan. Berdasarkan laporan keuangan per September 2023, total kewajiban Sritex mencapai US$1,54 miliar atau Rp24,3 triliun, dengan komposisi utang jangka pendek sebesar US$106,41 juta dan jangka panjang sebesar US$1,44 miliar. Total aset perusahaan tercatat hanya US$653,51 juta atau sekitar Rp10,33 triliun, menunjukkan bahwa nilai utang perusahaan melebihi asetnya.